Dear
You: Demi Apa? Demikian Aku Mencintaimu (Moamar Emka)
Untuk
apa jauh-jauh lagi mencari, sementara dalam dirimu saja aku sudah menemukan
alasan hidup: bahagia bersamamu.
Ini sudah benar dari awal. Aku mencintaimu tanpa tanda
tanya.
DEAR YOU,
“Hidup itu bukan tentang menunggu badai berlalu, tapi
tentang bagaimana belajar menari dalam hujan.”
“Tentangmu yang tak mampu kutepikan apalagi kulupakan.
Tentangmu yang setia kujaga dan kusimpan rapi di sudut hati terdalam. Inilah
kuasa pilihanku. Inilah yang tertulis dihatiku : aku mencintaimu.”
“Kadang cuma butuh satu helaan napas panjang buat
menyudahi penat hari ini sambil membayangkan sepotong senyumanmu.”
“Aku ingin mencintaimu tanpa batas waktu. Tidak kini,
dulu, apalagi nanti. Aku ingin mencintaimu saja untuk selamanya.”
“Rumah. Sejauh manapun aku melangkah dan berlari,
kepadanya juga aku kembali. Karena disanalah hati begitu nyaman berdiam. Ada
rindu yang terus bernyawa. Membawa inginku selalu kembali kepadanya.
Rumah itu kamu. Semesta nyaman yang menjalar dan teduh yang berjajar. Menguar
rindu yang tak terbilang. Mengeja cinta – tanpa tanda tanya, berulang-ulang.
Rumah itu hatimu.”
Jika malu itu mengenal komposisi, warnanya lebih pas
pucat pasi. Untuk rindu? Warna pelangi
Belum selesai juga aku membacamu. Membolak – balik
halaman tentang rahasia – rahasia yang kau bisikan padaku dimalam itu, juga
lelucon – lelucon konyol dalam cengkrama kita. belum puas aku membacamu. Tak
ingin aku menemukan kata ‘tamat’ di akhir buku tentangmu. Kau kubaca lagi; kali
ini dgn rindu.
Lelap tak terjamah. Bersanding sepi, kumamah pagi
bersemi sedih – tak terperi. Menyudutkan bahagia ke tepi.
.Inikah pagi? hmmmm. kenapa masih seperti kemarin? Hanya
sunyi yang mengetuk keterasingan berulang – ulang.
Di lipatan pagi, aku menanti. Datanglah di pangkuanku
meskipun sebatas basah embun.
Sesatku ditebas sunyi. Di tengah ramai, sepertinya aku
berbincang dengan bibir ruang yang mengumandangkan suara pesakitan.
Jangan buru buru – buru pergi, pagi. Mimpi dan kenyataan
masih ingin bertemu. Disaksikan Matahari
Bukan soal berani atau tidak, tapi lebih karena
kesadaran menerima kenyataan. Hitam putih itu jelas beda warnanya.
Coba saja kamu jatuh cinta sekali. Ujian yang datang
pasti berkali – kali.
Apa kabar gerimis hari ini? Tertawa bahagia atau
menangis luka? Ah, dua – duanya – seperti meramu dalam satu menu.
Jangan biarkan sedih menjangkau mataumu. Semoga hujan
menghapus jejak lelahmu. Dan tidurlah dalam buaian napas yang mengelopak bunga.
Tanda retak sedikit pun sampai lembut pagi menyapa.
Ketika memikirkan orang yang pernah kamu cintai,
ingatlah dia dengan tersenyum untuk berterima kasih. Karena dialah, kamu lebih
mengerti tentang kasih.
Hidup itu bukan tentang menunggu badai berlalu, tapi
tantang bagaimana belajar menari dalam hujan.
Beruntunglah masih bisa mencecap pahit. setidaknya kita
bisa menakar manis itu seperti apa rasanya.
Mari menengok masa lalu. Memebawanya kepangkuan;
meletakannya di jejak hari ini dan – mungkin, nanti.
Cinta? Tanpa definisi. Yang biasa dan bisa kita lakukan
adalah menekspreikannya. Kasihan cinta kalau harus diartikan ini-itu. Cinta
menjadi terisolasi, dan masuk ke dalam kotak!
“Meratapi kesedihan, itu seharusnya. Bangkit dari
keterpurukan, itu usaha luar biasa, ” lirih pikiranku, menguatkan hati.
Apa yang coba kuhindari? Masa kini, lalu apa nanti?
Percuma lari, ketiganya pasti kutemui. Kita bersiap diri, saja. Karena hidup
itu butuh masalh supaya kita tahu bahwa kita punya kekuatan.
Siapa bilang kita terpental dan kalah sbeleum berperang.
Sejauh ini, kita bertahan, di sini- dalam tarian badai.
Berdiam juga pilihan. Memberi ruang pada nalar untuk
bercinta; mencari jawaban. Semoga tenang menjelang, kemudian.
Menjadilah berarti. Bila salah, tak perlu mati – matian
membela diri. Cinta itu selalu memaafkan, kok.
Kita harus memilih. Kini atau masa lalu. Dan jangan kira
kita bisa berbalik dan mengikari keputusan kita sendiri.
Kesalahan yang tak disertai permintaan maap yang tulus
akan menjadi “kesalahan di atas kesalahan.”
sampai keakuan itu terbaca dengan huruf tebal, yakinkan
pilihan.
Mencintai Itu
Takdir, Nikah Itu Nasib
Kembali kubuka arsip
file-file lama. Ah, dapat! Yang ini belum begitu lama. Baru kemaren. Filenya
berbunyi begini: “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa
berencana menikah dengan siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk
siapa….” Pernah baca kicauannya, bukan? Itulah kerjaan inspiratif mbah
Sudjiwo Tedjo.
Karena itu, cinta
tidak punya agama. Ia bebas dari unsur segala agama. Maka, orang tiba-tiba
jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta, kepada seseorang yang berbeda agama. Mau
ngapain lagi. Memang cinta tidak punya mata untuk membedakan agama. Ia jatuh ke
bumi mencari “mangsanya” siapa saja.
Cinta juga tak punya
negara. Maka, banyak orang rela “bersusah-susah” nikah dengan pria/wanita beda
kewarganegaraan, pergi meninggalkan negaranya, demi cinta di negara nun jauh di
sana. Cinta bebas batas, bebas wilayah, tak berbatas negara.
Ada bujangan yang
begitu terdidik, tampan, mapan, dan masih muda. Ia terpikat pada janda. Janda
beranak satu pula. Tapi apa mau dikata. Cinta tak punya mata untuk membedakan
janda atau perjaka.
Nah, kalau demikian
ceritanya, mengapa manusia “tega” memutuskan ke-Illahi-an cinta hanya karena
beda agama, beda suku, bedan negara, dan beda status sosial? Bukankah itu sama
dengan mengingkari takdir?
Cinta hadir tanpa
batas dan tanpa sekat. Ia meluncur langsung dari Illahi.
Jadi? Saya harus bagaimana???
syndrom/akurapopogalauporakporanda, hehe
Hueemm,,, PILIHAN!!!
Rumah itu kamu. Semesta nyaman yang menjalar dan teduh yang berjajar. Menguar rindu yang tak terbilang. Mengeja cinta – tanpa tanda tanya, berulang-ulang. Rumah itu hatimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar