Total viewer

Selasa, 01 Juli 2014

Moamar Emka

Dear You: Demi Apa? Demikian Aku Mencintaimu (Moamar Emka)

Untuk apa jauh-jauh lagi mencari, sementara dalam dirimu saja aku sudah menemukan alasan hidup: bahagia bersamamu.
Ini sudah benar dari awal. Aku mencintaimu tanpa tanda tanya.
DEAR YOU,
“Hidup itu bukan tentang menunggu badai berlalu, tapi tentang bagaimana belajar menari dalam hujan.”
“Tentangmu yang tak mampu kutepikan apalagi kulupakan. Tentangmu yang setia kujaga dan kusimpan rapi di sudut hati terdalam. Inilah kuasa pilihanku. Inilah yang tertulis dihatiku : aku mencintaimu.”
“Kadang cuma butuh satu helaan napas panjang buat menyudahi penat hari ini sambil membayangkan sepotong senyumanmu.”
“Aku ingin mencintaimu tanpa batas waktu. Tidak kini, dulu, apalagi nanti. Aku ingin mencintaimu saja untuk selamanya.”
“Rumah. Sejauh manapun aku melangkah dan berlari, kepadanya juga aku kembali. Karena disanalah hati begitu nyaman berdiam. Ada rindu yang terus bernyawa. Membawa inginku selalu kembali kepadanya.
Rumah itu kamu. Semesta nyaman yang menjalar dan teduh yang berjajar. Menguar rindu yang tak terbilang. Mengeja cinta – tanpa tanda tanya, berulang-ulang. Rumah itu hatimu.”
Jika malu itu mengenal komposisi, warnanya lebih pas pucat pasi. Untuk rindu? Warna pelangi
Belum selesai juga aku membacamu. Membolak – balik halaman tentang rahasia – rahasia yang kau bisikan padaku dimalam itu, juga lelucon – lelucon konyol dalam cengkrama kita. belum puas aku membacamu. Tak ingin aku menemukan kata ‘tamat’ di akhir buku tentangmu. Kau kubaca lagi; kali ini dgn rindu.
Lelap tak terjamah. Bersanding sepi, kumamah pagi bersemi sedih – tak terperi. Menyudutkan bahagia ke tepi.
.Inikah pagi? hmmmm. kenapa masih seperti kemarin? Hanya sunyi yang mengetuk keterasingan berulang – ulang.
Di lipatan pagi, aku menanti. Datanglah di pangkuanku meskipun sebatas basah embun.
Sesatku ditebas sunyi. Di tengah ramai, sepertinya aku berbincang dengan bibir ruang yang mengumandangkan suara pesakitan.
Jangan buru buru – buru pergi, pagi. Mimpi dan kenyataan masih ingin bertemu. Disaksikan Matahari
Bukan soal berani atau tidak, tapi lebih karena kesadaran menerima kenyataan. Hitam putih itu jelas beda warnanya.
Coba saja kamu jatuh cinta sekali. Ujian yang datang pasti berkali – kali.
Apa kabar gerimis hari ini? Tertawa bahagia atau menangis luka? Ah, dua – duanya – seperti meramu dalam satu menu.
Jangan biarkan sedih menjangkau mataumu. Semoga hujan menghapus jejak lelahmu. Dan tidurlah dalam buaian napas yang mengelopak bunga. Tanda retak sedikit pun sampai lembut pagi menyapa.
Ketika memikirkan orang yang pernah kamu cintai, ingatlah dia dengan tersenyum untuk berterima kasih. Karena dialah, kamu lebih mengerti tentang kasih.
Hidup itu bukan tentang menunggu badai berlalu, tapi tantang bagaimana belajar menari dalam hujan.
Beruntunglah masih bisa mencecap pahit. setidaknya kita bisa menakar manis itu seperti apa rasanya.
Mari menengok masa lalu. Memebawanya kepangkuan; meletakannya di jejak hari ini dan – mungkin, nanti.
Cinta? Tanpa definisi. Yang biasa dan bisa kita lakukan adalah menekspreikannya. Kasihan cinta kalau harus diartikan ini-itu. Cinta menjadi terisolasi, dan masuk ke dalam kotak!
“Meratapi kesedihan, itu seharusnya. Bangkit dari keterpurukan, itu usaha luar biasa, ” lirih pikiranku, menguatkan hati.
Apa yang coba kuhindari? Masa kini, lalu apa nanti? Percuma lari, ketiganya pasti kutemui. Kita bersiap diri, saja. Karena hidup itu butuh masalh supaya kita tahu bahwa kita punya kekuatan.
Siapa bilang kita terpental dan kalah sbeleum berperang. Sejauh ini, kita bertahan, di sini- dalam tarian badai.
Berdiam juga pilihan. Memberi ruang pada nalar untuk bercinta; mencari jawaban. Semoga tenang menjelang, kemudian.
Menjadilah berarti. Bila salah, tak perlu mati – matian membela diri. Cinta itu selalu memaafkan, kok.
Kita harus memilih. Kini atau masa lalu. Dan jangan kira kita bisa berbalik dan mengikari keputusan kita sendiri.
Kesalahan yang tak disertai permintaan maap yang tulus akan menjadi “kesalahan di atas kesalahan.”
sampai keakuan itu terbaca dengan huruf tebal, yakinkan pilihan.



Mencintai Itu Takdir, Nikah Itu Nasib

Kembali kubuka arsip file-file lama. Ah, dapat! Yang ini belum begitu lama. Baru kemaren. Filenya berbunyi begini: “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikah dengan siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa….” Pernah baca kicauannya, bukan? Itulah kerjaan inspiratif mbah Sudjiwo Tedjo.
Karena itu, cinta tidak punya agama. Ia bebas dari unsur segala agama. Maka, orang tiba-tiba jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta, kepada seseorang yang berbeda agama. Mau ngapain lagi. Memang cinta tidak punya mata untuk membedakan agama. Ia jatuh ke bumi mencari “mangsanya” siapa saja.
Cinta juga tak punya negara. Maka, banyak orang rela “bersusah-susah” nikah dengan pria/wanita beda kewarganegaraan, pergi meninggalkan negaranya, demi cinta di negara nun jauh di sana. Cinta bebas batas, bebas wilayah, tak berbatas negara.
Ada bujangan yang begitu terdidik, tampan, mapan, dan masih muda. Ia terpikat pada janda. Janda beranak satu pula. Tapi apa mau dikata. Cinta tak punya mata untuk membedakan janda atau perjaka.
Nah, kalau demikian ceritanya, mengapa manusia “tega” memutuskan ke-Illahi-an cinta hanya karena beda agama, beda suku, bedan negara, dan beda status sosial? Bukankah itu sama dengan mengingkari takdir?
Cinta hadir tanpa batas dan tanpa sekat. Ia meluncur langsung dari Illahi.

Jadi? Saya harus bagaimana???
syndrom/akurapopogalauporakporanda, hehe
Hueemm,,, PILIHAN!!!

Sumber : http://fitriology.wordpress.com/2012/12/22/dear-you-demi-apa-demikian-aku-mencintaimu-moamar-emka/
kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar